Jangan Biarkan Jancuk Menjancukimu

 


Beberapa bulan lalu, hati yang biasanya tidak pernah tersenyum, kembali menunjukkan citra yang bagus. Ia tampak lebih cerah dari biasanya. Kegundahan di awal komunikasinya, semakin lama menghilang dan telah berubah menjadi kenyamanan. Dalam egoisme hati, ia ibarat potongan puzzle yang sedari dulu dicari. Ia dicanangkan untuk menjadi bagian yang sangat intim dalam membentuk kehidupan tanpa ironi.

Dengan sedikit bumbu kekecewaan, sebut saja namanya Jancuk. Di awal itu, aku sempat memoderasi sikap manusiawi dan idealisme hati. Hal itu bertujuan untuk menyatukan kondisi pemikiran yang kemudian egoisme hati dapat tercapai, dan beberapa saat lagi, langkah moderasi akan ku hilangkan. Ya, tentunya dengan membuat Jancuk berubah sikap kehewanannya.

Ah, terlalu kejam mengatakan Jancuk mempunyai sikap kehewanan. Tapi memang setiap manusia memiliki sikap kehewanan, bukan?

Saat itu Jancuk mengatakan bahwa dekat dengan seorang cowok. Pertama, Jancuk mengatakan bahwa masih dekat dengan mantannya yang merupakan adik dari gurunya. Pernyataan kedua, ia sedang dekat dengan cowok se-kampusnya, tapi komunikasi atau hubungan sedang dalam kondisi kritis. Sikap kehewananku muncul, “Hemmmm, ini kesempatanku,” (Senyum iblis). Bagaimana tidak, sekian purnama, gempa bumi Jogja, penggusuran di Kulonprogo, hingga rencana pembuatan jalan TOL Semarang Demak telah kulewati hanya untuk mendapatkan si Jancuk.

Seperti yang telah ku paparkan di atas, memilikinya adalah impian sejak SMA. Saat ini aku di penghujung perkuliahan, menunggu surat DO dari kampus. Kehewananku muncul lagi ketika aku harus melepaskan cewek yang saat itu juga sedang dekat denganku, yang bahkan seharusnya aku lebih mengenal dia tanpa egoisme hati. Sudahlah, Jancuk akan tetap Jancuk.

Kebersamaanku dengan Jancuk, kian hari semakin dekat dan lebih dekat, bahkan aku telah menawari sesuatu yang seharusnya sangat berharga dalam hubungan. Ketidakseriusan semakin terlihat dikala ia menyatakan alasannya untuk tidak dulu menerima penghargaan itu. Sebenarnya banyak faktor yang menjadi penghalang dalam hubunganku dengan Jancuk, seperti perizinan yang mengharuskanku melewati syarat keimanan. Itu sangat berat, tapi aku mencoba untuk beradaptasi hanya untuk kebersamaan ini. Alasan lain ‘demi kebersamaan’ ini adalah sifat pribadi pelengkap hati, itu yang terlihat dari egoisme hati.

Dalam perjalanan itu tidak mudah, moderasi sikap sudah mulai ku hilangkan. Tentunya dengan kesepakatan dua belah pihak. Kita membentuk kesepakatan dan program-program yang akan dijalankan sembari menunggu waktu penerimaan penghargaan. Lagi-lagi ketidakseriusan semakin terlihat dikala ia melukai kesepakatan bersama. Kali ini, ia bermain cantik, nyaris tak terlihat.

Egoisme hati tak melihat itu di awal. Sikap kehewanan yang selalu jujur itu berubah menjadi penghancur kepercayaan. Satu hingga dua kali telah kuberikan hak kemakluman, tapi tidak yang ketiga kalinya. Seorang jancuk sepertiku tidak mau menghilangkan kejancukannya. Ketika ia bermain cantik dan nyaris tak terlihat, aku akan lebih indah mewarnainya.

Orang baru muncul di tengah-tengah kita. Ia pernah cerita bahwa orang tersebut adalah teman dekat di satu instansi pustaka di kampusnya. Tapi apa yang mereka lakukan? Kala itu Jancuk mengatakan bahwa ia akan melakukan perjalanan ke kampusnya dan menetap untuk beberapa hari. Sebelum berangkat, ia menghampiriku dan membuat kesepakatan untuk terus mengabari. Satu dua hari, hati masih nyaman. Hingga hari keberapa, aku lupa (tak mau mengingat hal bodoh), Jancuk tak memberikan kabar apapun. Aku berusaha menghubungi teman-temannya tak ada satupun yang tau keberadaannya. Hari kian gelap, notifikasi pesan whatsapp darinya muncul, bergegas ku buka. Jancuk mengatakan bahwa ia kehabisan kuota dan saat itu ia tethering dari temannya.

Aku menerima alasan itu, walaupun tidak sepenuhnya, pasti ada hal yang terjadi di luar sana. Keesokan harinya, aku langsung gas ke daerah kampusnya dengan alasan bertemu seorang teman. Kuajaklah Jancuk untuk bertemu, dan terpaksa untuk mengajaknya pulang. Iya, itu kata hatiku. Hal yang menyangkut perasaan akan kulakukan melalui kesepakatan hati.

Seperti yang kuduga, aku akhirnya tau bahwa Jancuk saat hari itu tengah pergi berdua dengan seorang cowok. Jancuk mengatakan bahwa orang tersebut adalah teman dekatnya. Untuk mengkonfirmasi ulang, aku mencoba menelepon teman dekatnya tersebut. Namun apalah daya, aku malah diberikan edukasi hubungan yang sehat, seakan-akan ia adalah bidadara yang penuh dengan kepercayaan.

Sebagai ahli cover both side, dan aku merasa lebih hebat darinya. “Kepercayaan hadir dalam kejujuran”, ya, seperti itu. Aku meminta kita berempat (aku, Jancuk, dia, dan pasangannya) untuk melakukan VC, karna saat itu ternyata ia juga punya seorang pasangan. Hal ini aku lakukan untuk mengkonfirmasi siapa yang dibodohi dalam lingkup ini.

Gagasanku tidak diindahkan, maka apa yang terjadi? Seperti dugaanku, karna yang ‘dibodohi’ di lingkup itu terlalu pintar, maka yang ‘membodohi’ akan merasa amat salah dan melakukan tombol panik, yakni saling menyalahkan atau seakan-akan sudah tidak berani berkomunikasi. 

Banyak pembodohan dalam hubungan ini, entah di bagian mana pasti kita tahu. Tapi memang, egoisme hati masih cukup besar untuk membela pendapat masing-masing. Dan pada titik ini, ketegasanku untuk tidak memberikan lagi ruang orang yang ‘Jancuk’.


Adi Ariy

Turun ke jalan TOL JOKOWI mencari anomali Jangkrik, sehingga jadilah COCO CRUNCH "Catatan Kebimbangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar