Aku Hanya Mendung dan Kau Embun


Pertemuan itu menjadi titik konstelasi perubahan hidupku, berjalan begitu indah rasanya, di awal waktu semua terasa mempesona, bahkan tak ingin diriku melewatkan se-detik pun dirimu. Meski lewat pesan yang singkat, semua terasa menyenangkan. Mungkin kalian tahu bagaimana rasanya kasmaran? Riangnya mengalahkan logika, oleh karena itu cinta disebut buta, karena memang gelora fantasi-nya melebihi mabuk anggur merah.

Sebelum akhirnya dirimu menjadi seseorang yang menyakitkan. Setelah beberapa bulan kita lewati bersama, saling berjanji untuk selalu dekat, namun pada akhirnya kau menikam diriku dengan begitu sakit, hancur di detik itu ketika dirimu mengkhianati semua. Meski dirimu menjelaskan, "ini bukan pilihanku". Cukk!!! teriak ku dalam hati.

Seseorang yang baru hadir dalam kehidupanmu, kau pilih. Ku akui kelebihan 'materi' yang dia punya tak sanggup ku tandingi. Aku terlahir dari keluarga sederhana yang tidak memiliki kelimpahan harta, jelas berbeda dengan dirinya. Namun diriku lebih bisa menghargai hati, entah hati siapapun itu.

Kita sangat nyata berbeda, dirimu terlahir dari keluarga borjuis dan apalah dayaku yang hanya seorang proletar. Aku menyadari itu, dan ketika dirimu tidak ingin melawan takdir, "pergilah!" hadirlah pada hati yang kau yakini menjadi rumahmu nanti, namun ingat setiap hati pasti bisa menjadi rumah. Namun tak semuanya bisa menjadi tempat berpulang.

Biarkan saja diriku di sini sendiri, terimakasih pernah singgah di rumah usang ku ini. Lakukan apa yang dirimu anggap benar. Jika hal ini kau anggap benar, maka lakukanlah, jangan sungkan. Kau berhasil menjadi sosok yang meruntuhkan keteraturan hidupku selama ini, setelah tragedi itu. Kau pamit undur diri, menyiksa lara, sampai hujan yang turun terasa begitu perih, saking perihnya air mata itu tak muncul hanya tertahan dielakkan nafas terakhir.

Setelah peristiwa di hari itu, diriku mulai merapal kembali kebiasaanku seperti semula. Di pagi hari diriku hanya membaca buku sambil mengisakkan lara yang masih berbekas, sembari menunggu malam datang. Meski tanpa pesan singkatmu lagi, ku coba berpaling dari ponsel jadulku, tetap saja bayanganmu membias di ingatanku.

Petangku merasakan kebahagiaan ketika dirimu tiba-tiba hadir dalam ingatanku, kemudian berbisik rindu. Sontak diriku tersedak. Entah kenapa diriku tetiba memikirkanmu, aku berharap semuanya kembali normal, dirimu kembali ke langit tempat dirimu berada meninggi, dan aku kembali meyelami bumi, seperti rutinitasku. Pasca peristiwa itu, kenangan kita pernah merasakan rindu yang sama bersahutan dengan perpisahan yang amat menyakitkan. Semua itu bertengkar hebat dalam pikiranku. Sakit namun tak berdarah memang ada nyatanya.

Kala malam datang, pertengkaran itu semakin bergejolak dalam pikiranku. Keinginan ingin melupakanmu tertahan dengan pikiran rindu bayangmu. Mengingatmu lagi pipi menjadi merah merona, atau seperti anak kecil yang merengek meminta mainan yang diinginkan, bahkan menangis dilakukannya sebagai cara untuk mendapatkan mainan itu. 

Memilikimu selamanya memang bak fantasi di siang bolong, karena stratifikasi yang berbeda. Semua itu terasa utopis terwujud, kau terlalu mewah, yang hanya bisa ku pandangi di balik etalase. Kau terlalu mahal ku tebus, atau diriku memilih jadi penjahat saja? Yang mencurimu hanya karena tak rela orang lain menikmati keindahanmu. 
Akhirnya aku tersadar dari lamunanku. Dirimu memang tak pantas mendapatkan ini semua. Diriku tak ingin melawan takdir.
Akhirnya aku menyadari tentang perpisahan. Bisa mendewasakan hati, karena semakin diriku terhanyut kisah ini, semakin aku paham garis Tuhan untukku. 
Aku hanya mendung, dan kau adalah embun. Bersama kita hanya menjadi gerimis, meluluhkan perih dalam isak tangis.
Semakin lama, ombak rindu hanya mengakibatkan abrasi hati, menelusup dalam relung hingga perih mengiris rusuk yang berkabung. Di sini cerita tentangmu akan tetap utuh bernaung, maaf. Aku hanya sedang membuka kembali memori yang sudah lama nge-bug.
Membenci Tawa, Menertawai Kebencian, begitulah aku sekarang.
Pagi kembali hadir, seperti biasa hal yang pertama diriku lakukan ialah membereskan kekacauan semalam, lembaran-lembaran kertas yang berserakan bekas merapal dirimu ku kumpulkan, sebab itulah harta yang kupunya

Fajarpun berganti siang, dibawah terik matahari, lagi-lagi imajinasiku menertawakanku, bagaimana tidak. Dirimu selalu kutemui dalam pikiranku, sementara realitasnya? Jauh bertolak belakang, meski kita sama sama menjadi orang yang sedang berlari, Ya aku berlari berusaha mengejarmu, kau sibuk berlari menghindariku.

Adi Ariy

Turun ke jalan TOL JOKOWI mencari anomali Jangkrik, sehingga jadilah COCO CRUNCH "Catatan Kebimbangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar