Goresan penamu dan dia yang sering menggunakan jaket
levis dekil, seperti tidak dicuci enam koma tujuh tahun itu, sudah menjelaskan
secara eksplisit historis selama tiga tahun ke belakang. Langkah kecilku sudah
terekam dengan baik oleh mata kalian yang memiliki kekuatan lebih dariku. Bahkan
kalian lebih tau dan kenal dengan apa yang telah aku injak.
Aku mulai memeluk dia ketika tau bahwa pria berjaket
levis itu menjadi bahan bullyan. Iya. Dia penggemar Manchester United,
sedangkan aku Liverpool FC. Tapi tulisan ini bukan untuk mengenang si pria ini.
Terlalu mudah untuk diketawai karena bacotan anjing ini tak se-anjing aktivis
penolak YIA itu. Tulisan ini berangkat dari pecutan di blog pribadinya. Aku membaca
tulisannya pukul 13.15 WIB di Jepara.
Aku memulai membuka Microsoft Word ini pada pukul
13.25 WIB. Terimakasih Microsoft :). Aku harus membalas tulisannya yang bagus itu,
entah dia belajar dari mana tentang struktur penulisan yang baik, atau bahkan
keredaksian tanpa blunder. Faktanya aku tidak pernah mengajarkan itu (Cie,
ngomongin senioritas) bahkan dia adalah kritik’ers’ terbaik selama hidupku
dengan alasan-alasan yang rasional. Ia memilih diam ketika aku mulai ngawur
pembicaraannya. Aku menyadari itu, dan memang ingin tau responnya.
Dia pendengar yang baik. Atau mungkin memang sejak
kecil dia menjejali dirinya dengan psikologi pilihannya. Jelas, aku mengatakan
ke siapapun itu tentang teknik komunikasi baiknya. Bahkan ada satu lingakaran
kami yang agak ‘cacat’ komunikasi, ia bisa menjinakkan itu. Sulit mengatakan
bahwa dia tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Kalaupun ia diam, bukan
karena substansi pembicaraan, tapi memang bahasa yang berbeda. Dengan begitu,
dia selalu menjadi jurnalis yang cerewet karena aku narasumbernya.
Aku telah MENEMUKAN. Awal genitmu, manjamu, powermu, aku menemukan itu.
Aku merasa, penemu terkemuka di muka bumi ini telah
kalah dengan hasil temuanku. Alessandro Volta, Alexander Graham Bell, Benyamin
Franklin hingga penemu korek api, Robert Boyle tidak sepintar aku. Temuan itu
tidak boleh dibiarkan, aku harus mencari ide-ide lain dengan teori yang
sekarang, “ATM” dengan objek yang sama. Mungkin ini bisa jadi alibiku. Tapi tidak
akan diterima, kemampuan teori radikalnya sangat radikal, apalagi dengan alasan
yang ‘memaksa’.
Temuanku menghasilkan turunan, salah satunya ‘munafik’.
Aku telah menemukan. Ia hadir dengan kesederhaan, dengan kekopongan yang memang
aku idam-idamkan. Namun pada akhirnya energi dari hasil temuanku lebih besar. Aku
harus cepat menyesuaikan sebelum aku diperalat.
Masa itu ku alami, tapi karena energi magnet yang
tiba-tiba muncul itu, mengurungkan niat. Alhasil aku harus mencari jalan untuk
mengeluarkan diri dengan berbagai cara, walaupun itu harus memecah sedikit
bagian temuanku. Aku tahu konsekuensinya, dan aku harus menggunakan cara ini. Namun
yang terjadi Wilhelm Conrad Rontgen telah mengadopsi temuanku untuk melengkapi
Sinar-X temuannya.
Sungguh singkat jika harus dipaparkan lewat ketikan
laptop kecilku ini, yang kadang membuatnya jengkel. Pengen buang? Sama. Tapi aku
gak bisa apa-apa, bahkan untuk memperbaiki tombol yang copot harus meresahkan
diri dan menunggu pengertianmu. Aku sadar itu.
Kembali lagi dengan alasan yang ku buat tidak akan
merubah apapun. Aku merasa bangsat dengan diri sendiri ketika sok-sokan
mengidealisasi orang lain. Bahkan diri sendiri tidak sanggup untuk melakukan
itu. Ketika aku mencoba untuk memoderatkan diri, tapi bayangan idealis yang ia
bangun selalu hadir untuk setiap langkah yang kupikirkan.
Saat ini aku berenang dalam gejolak diferensial,
idealis atau realistis, moderat atau mutlak. Menarik bukan? Jika dalam dinamika
kehidupan saat ini harus memiliki tiga unsur, kekuasaan, uang, dan massa, aku
tidak memiliki semuanya. Unsur yang paling pokok saja tidak punya, berbeda 180
derajat dengannya. Pemikiran ini yang selalu jadi hambatan kinerja otak. Ia memberikan
masukan yang baik, buku-buku, tulisan-tulisan pemikir sudah tergilas oleh
mataku, namun tak semuanya bisa membersihkan hambatan dalam pikiran yang bebal
ini.
Aku suka dengan semunya tentangmu. Bahkan dari juteg’an kakakmu yang saat itu kuterima,
aku tidak merasakan sakit yang saat ini kurasakan dari kejadian yang sama. Berbeda
memang pemikirannya. Aku sadar dan aku sebenarnya sudah tau konsekuensi yang
harus kuterima, ketika aku mencoba keluar dari moderatisasi dan tetiba aku
harus kembali lagi.
Rengekanmu
meminta es goreng sebenarnya sudah bisa menjelaskan. Rasa dingin itu sebenarnya
bukan aku yang menghasilkan. Lima ribu perak saat itu menertawaiku. Keinginan
kedua bahkan kutolak untuk menghindari joke-joke yang diciptakan dari lapisan cokelat
es goreng. Saat itu aku hanya ingin mencari teknik bagaimana cara memodifikasi
es goreng menjadi es krim Juventus, atau apalah itu namanya.
Atau matahari yang menutupi tertawanya dengan
bongkahan tanah dari arah timur di pagi itu? Ia menertawaiku seraya mengatakan,
“Lapo cuk rene? Mending kuwe neng omah, nggolek duwit.” Aku tersenyum tipis
menyambutnya dan memilih mengalihkan ke sarang laba-laba.
Masih banyak hal yang menertawaiku. Iya. Aku suka
tertawa, kaupun. Tapi ketika kita dijadikan objek komedi dari sesuatu yang belum
kenal, bagaimana rasanya? Atau aku yang memang menutup diri untuk sekedar
berkenalan dengan mentari itu?
Tetiba aku menemukan hal baru. Hampir persis seperti
yang ditemukan oleh Blaise Pascal. Aku belum menemukan hal yang baru, bahkan
minat ilmu utama Pascal pun belum ditemukan. Filsafat dan Agama, yang kutemukan
hanyalah kemasan agama dengan teori marketing yang biasa digunakan oleh
anak-anak Desain Komunikasi Visual.
Masih ada cerita yang panjang untuk diceritakan, seperti yang biasa aku katakana setelah lama menghilang. Sesekali tulisan ini menjadi penghantar obrolan. Tetap seperti kondisi semula. Oh iya, tulisan ini singkat dan tanpa revisi, selesai pukul 14.02 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar